Ayam Broiler Berkualitas Organik

ayam_probiotikKadar lemak, lendir, dan minyak alami yang ada pada ayam ini menjadi lebih rendah. Sehingga menurunkan kolesterol dan meningkatkan proteinnya.

Oleh Dwi Hardianto

Kepedulian publik pada gaya hidup sehat semakin meningkat. Budaya menyantap makanan organik yang bebas dari berbagai jenis pestisida dan zat kimia yang bisa membahayakan tubuh pun menjadi tren. Selama ini, jenis bahan makanan organik didominasi oleh makanan pokok dan sayur-sayuran. Mulai dari beras, wortel, cabe, tomat, kol, kangkung, sawi, genjer, dan lainnya. Tapi belakangan ini, tren makanan organik meluas ke bahan makanan lain yang berasal dari hewan ternak. Salah satunya adalah ayam pedaging (Broiler). Ayam jenis ini telah merajai pasar ayam dalam negeri sejak sepuluh tahun terakhir, menggeser dominasi ayam kampung. Permintaan Broiler terus meingkat karena harganya lebih murah dan dagingnya lebih lembek ketimbang ayam kampung.

Meski begitu, para pebisis dan peternak ayam jenis ini tidak mengklaim produknya sebagai ayam organik, tapi ”Ayam Broiler Berkualitas Organik”. Pasalnya, dalam membudidayakan ayam ini masih terdapat unsur zat kimia dalam bentuk antibiotik yang dicampurkan dalam makanannya. Karenanya, ada juga yang menyebut sebagai ”Ayam Probiotik.”

Salah satu pemainnya adalah Mahaditra Jaka Respati Wiradisurya (25 tahun). Pebisnis muda kelahiran Jakarta 14 Desember 1985 ini, merintis usaha ayam probiotik sejak September 2008 di Lampung. Kepada Sabili, Jaka menjelaskan apa yang dimaksud dengan ayam probiotik, yaitu ayam broiler biasa yang diberi unsur bakteri positif Lactobacillus pada makanannya. Selain itu, masih ditambahkan juga dengan jamu seperti yang diminum manusia, seperti temulawak, kunyit, jahe, brotowali, dan ramuan lainnya.

Menurut Jaka, dengan pemberian bakteri positif dan jamu membuat kinerja pencernaan ayam menjadi lebih efisien. Sebagaimana manusia ketika minum Lactobacillus pada Yogurt atau Yakult yang juga memperbaiki kinerja pencernaan. ”Hasilnya berupa ayam yang memiliki beberapa keunggulan, seperti kadar lemak, lendir, dan minyak alami yang ada pada ayam menjadi lebih rendah. Sehingga menurunkan kadar kolesterol dan meningkatkan kadar proteinnya, tutur jebolan Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.

Prosedur beternak ayam probiotik lanjut Jaka, juga sederhana. Sama seperti cara beternak dan kandang ayam broiler biasa. Tapi keistimewaan lainnya, kotoran ayam probiotik tidak berbau menyengat dan tidak menjadi tempat berkumpunya lalat seperti kotoran ayam broiler biasa. ”Makanya, di Lampung saya menggunakan kandang di pemukiman penduduk. Bahkan, ada juga peternak yang mengembangkan di belakang rumahnya,” jelas lulusan SMA Satria Nusantara ini.

Lantas berapa modal awal yang dikucurkan Jaka untuk mengembangkan bisnis ini? ”Awalnya sekitar Rp 10 juta,” katanya. Tapi karena ia ingin mengembangkan pasar ke Jakarta, secara bertahap ia pun menambahkan modal hingga mencapai Rp 40 juta. ”Modal ini digunakan untuk membangun beberapa kandang sederhana, membeli bibit, bahan pakan, bakteri postif, dan alat produksi lainnya,” tandasnya.

Dengan sistem kemitraan yang melibatkan sekitar 20 peternak lokal di Lampung, omset produksi rata-rata terus meningkat. Pada awal pembukaan omsetnya hanya sekitar 500–1000 ekor per pekan. Tapi sekarang, setelah menemukan pasar di Jakarta, omsetnya meningkat hingga 1.500 ayam per pekan. ”Sistem kemitraan ini memberikan margin bagi hasil lebih besar pada peternak karena harga ayam probiotik juga lebih tinggi dibanding ayam broiler biasa,” tambah Jaka.

Melihat potensi pasar yang masih terbuka lebar, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, Jaka pun membuka peternakan baru di Bogor, Jawa Barat. Besarnya peluang ayam probiotik ini, tercermin dari tingginya permintaan ayam broiler biasa di Jakarta yang mencapai 800 ribu sampai 1 juta ekor per hari. ”Logikanya begini, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan akan terus meningkat. Sehingga, perubahan konsumsi kepada bahan makanan yang lebih sehat juga akan meningkat. Disinilah ayam probiotik berpeluang menggantikan konsumsi ayam broiler biasa,” tutur Jaka optimis.

Karenanya, Jaka pun telah mengembangkan enam kandang baru di Bogor yang melibatkan 12 peternak lokal, khusus untuk memasok kebutuhan pasar di Jakarta. Ia melakukan ini, untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan pasar Jakarta hingga 1.700 ekor per pekan. ”Target kami, sampai menjelang lebaran tahun ini, Insya Allah sudah bisa memasok kebutuhan ayam probiotik di Jakarta hingga 2.000 ekor per pekan atau 8.000 ekor per bulan,” tegasnya.

Soal harga, Jaka mengaku memang lebih mahal dibanding ayam broiler biasa. Di supermarket bisa mencapai Rp 45–48 ribu per ekor. Tak heran, jika ayam ini semuanya masih diserap pasar modern, seperti Hero, Carefor, Hypermart, Makro, Giant, dan lainnya. Dengan harga jual yang relatif tinggi ini, omset penjualan Jaka juga terus mengalami kenaikan. Bermula pada angka sekitar Rp 15 juta per pekan atau sekitar Rp 60 juta per bulan, sekarang sudah menembus Rp 45–50 juta per pekan atau 180–200 juta per bulan.

Apakah kesuksesan ini diraih begitu saja oleh Jaka? Ternyata tidak. Jaka yang menyelesaikan SD di al-Ashar Kemang dan SMP al-Ashar Pejaten ini, lahir bukan dari keluarga pebisnis tapi keluarga profesional karena kedua orang tuanya dokter. Tapi karena keinginan, tekad, dan besarnya cita-cita untuk menjadi pebisnis, jalan akhirnya pun terbentang. Meski awalnya harus jatuh bangun dan gagal, tapi tak membuatnya patah arang.

Pengalaman pahit ia rasakan ketika belum memulai bisnis ayam probiotik. Sambil menjadi karyawan sebuah perusahaan multinasional, Procter & Gamble Co (P&G), Jaka yang baru saja menyelesaikan studinya di Fakultas Teknik ITB (Juli 2007) ini, merintis usaha bidang energi terbarukan. Ia merintis usaha ini bersama temen kuliahnya, lulusan Teknik Kelautan ITB. Inilah jalan pertama Jaka memasuki dunia kewirausahaan.

Ia mulai merintis usaha pada energi terbarukan, Maret 2008. Energi terbarukan yang digeluti saat itu adalah solar sel, yakni pemanfaatan tenaga matahari untuk menghasilkan energi dan listrik, dengan memanfaatkan inisiasi yang namanya Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC). Dengan mengibarkan bendera PT Colano Energi bersama rekan kuliah, Yasir Rahman, Jaka bahkan sempat mewakili Indonesia dalam ajang World Renewable Energy Congress XI and Exhibition di Glasgow, Skodlandia.

Dalam even ini, Jaka melihat peluang besar untuk mengembangkan bisnis bidang energi terbarukan di Indonesia. Dengan kekayaan alam yang beragam dan melimpah, jika dimanfaatkan dengan baik, Indonesia akan menjadi produsen energi terbarukan terbesar di dunia. Bahkan, ia sudah menemukan vendor dan calon investor di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ini semua berkat bantuan Dubes RI di Uni Emirat Arab, Wahid Supriyadi, yang membantu menghubungkannya dengan calon investor di negeri Petro Dolar itu.

Tapi ketika peluang besar ini ia bawa kembali ke tanah air dan sempat menjalankannya selama 5–6 bulan, ia merasa pengembangan bisnis energi terbarukan di Indonesia masih sangat berat. Padahal, peluangnya ada di depan mata dan teknologinya juga sudah tersedia oleh anak-anak muda lulusan ITB yang merupakan rekan kuliah Jaka sendiri. Lantas kenapa berat? Menurut Jaka karena dua faktor.

Pertama, alasan politis. Kebijakan energi pemerintah masih memprioritaskan pada bahan bakar fosil, yakni minyak bumi dan batu-bara. Sehingga, ketika energi matahari (solar sel) akan ia kembangkan dalam skala industri, menjadi tidak kompetitif dari sisi harga dibanding dengan minyak bumi dan batu bara. Kedua, modal untuk membangun industri ini masih sangat besar, mencapai ratusan juta US dollar.

Akhirnya, ia pun memutuskan tidak melanjutkan untuk sementara waktu pengembangan bisnis ini. ”Sampai sekarang saya masih menjalin kontak dengan para vendor, investor, dan bayer. Artinya, bisnis ini siap dimulai dan dikembangkan kapanpun ketika kondisinya tepat. Apalagi, work shop milik teman-teman saya di ITB sudah ada dan siap digunakan,” jelasnya berharap.

Dari kegagalan inilah, ia menemukan bisnis baru yang sekarang digelutinya, beternak ayam probiotik. Bahkan, demi obsesinya membesarkan peternakan ayam probiotik dalam bendera PT Amertawangsa Arthanusantara ini, Jaka rela melepas kehidupan mapan, karir menarik, dan gaji tinggi di P&G sejak pertengahan 2009 lalu. ”Wirausaha merupakan jalan mencapai kesempatan yang tak terbatas untuk membantu orang banyak. Apalagi dikaitkan dengan nasionalisme, akan kontraproduktif jika saya terus bekerja di perusahaan asing,” pungkasnya.


Sumber : http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2564:ayam-probiotik-ayam-broiler-berkualitas-organik&catid=86:tijarah&Itemid=285

1 komentar:

DEKA mengatakan...

selamat pak atas kesuksesan bapak;
kenalkan nama saya deka gita boy dari lombok, jujur saya ingin seperti bapak demi keluarga dan orang banyak...,
mohon bimbingan dan sukses terus...

Posting Komentar

Teman Kami