Kekuasaan Bani Umayyah di Spanyol (138-897H/711-1492 M)
Sejak pertama kali berkembang di Spanyot sampai dengan berakhirnya kekuasaan islam di sana, islarn telah memainkan peranan yang sangat besar. Masa ini berlang¬sung selama hampir delapan abad (711-1492 M).
Kedatangan Islam di Bumi Spanyol
Sebelum kedatangan umat Islam, kawasan yang masuk dalam daerah Iberia tersebut berada di bawah kekuasaan Kerajaan Hispania, yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth. Awal kedatangan pasukan Islam di Spanyol berawal saat datangnya kabar dari Julian, gubernur wilayah Ceuta, yang memohon kepada Musa bin Nusair, raja muda yang menjabat gubernur dari Kekhalifan Umayyah di wilayah Afrika Barat Laut, untuk memerdekakan negerinya, karena negerinya, Andalusia, dilanda kekacauan yang hebat.
Atas perintah raja muda tersebut, yang berada di bawah pemerintahan kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus, diutuslah Thariq bin Ziyad, salah seorang panglima perangnya.
Thariq, yang membawa kurang lebih 7.000 pasukan, mendarat di Gibraltar pada 30 April, dan terus menuju utara. Setelah mengalahkan Raja Roderic dari Visigoth dalam Pertempuran Guadalete pada 711 M, kekuasaan Islam terus berkembang hingga tahun 719 M. Daerah yang dikuasai kaum muslimin ini disebut Provinsi Al-Andalus, terdiri dari Spanyol, Portugal, dan Prancis bagian selatan sekarang.
Sejarawan Barat beraliran konservatif, W. Montgomery Watt, dalam bukunya Sejarah Islam di Spanyol, mencoba meluruskan persepsi keliru para orientalis Barat yang menilai umat Islam sebagai yang suka berperang. Menurutnya, “Mereka (para orientalis) umumnya mengalami mispersepsi dalam memahami jihad umat Islam. Seolah-olah seorang muslim hanya memberi dua tawaran bagi musuhnya, yaitu antara Islam dan pedang. Padahal, bagi pemeluk agama lain, termasuk ahli kitab, mereka bisa saja tidak masuk Islam meski tetap dilindungi oleh suatu pemerintahan Islam.”
Peperangan dalam Islam adalah untuk menghidupkan manusia, bukan untuk memusnahkan. Itu sebabnya, ketika kaum muslimin menang perang dan menguasai suatu wilayah, mereka tidak bertujuan menjajahnya.
Thariq bin Ziyad
“Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian. Sedangkan musuh ada di depan kalian. Ke manakah kalian akan melarikan diri? Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran. Ketahuilah, di pulau ini kalian lebih telantar daripada anak yatim yang ada di lingkungan orang-orang hina. Musuh kalian telah menyambut dengan pasukan dan senjata mereka. Kekuatan mereka sangat besar, sementara kalian tanpa perlindungan selain pedang-pedang kalian, tanpa kekuatan selain barang-barang yang kalian rampas dari tangan musuh kalian.
Seandainya pada hari-hari ini kalian masih tetap sengsara seperti ini, tanpa adanya perubahan yang berarti, niscaya nama baik kalian akan hilang, rasa gentar yang ada pada hati musuh akan berganti menjadi berani kepada kalian. Oleh karena itu, pertahankanlah jiwa kalian.”
Kalimat tersebut diucapkan setelah kapal yang digunakan menyeberangi selat dibakar, sehingga satu-satunya pilihan bagi 7.000 pasukan Islam saat itu hanyalah menghadapi 100.000 pasukan Visigoth, untuk menaklukkan negeri Andalusia, atau syahid di sana. Pidato terkenal ini dikobarkan oleh seorang panglima perang yang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah penyebaran Islam, Thariq bin Ziyad.
Nama lengkapnya Thariq bin Ziyad bin Abdullah bin Walgha bin Walfajun bin Niber Ghasin bin Walhas bin Yathufat bin Nafzau, putra suku Ash-Shadaf, suku Barbar, penduduk asli daerah Al-Atlas, Afrika Utara. Ia lahir sekitar tahun 50 H. Ia ahli menunggang kuda, menggunakan senjata, dan ilmu bela diri. Ia salah seorang panglima perang kaum muslimin pada masa pemerintahan Khalifah Walid bin Abdul Malik atau Al-Walid I (705-715 M) dari Bani Umayah.
Rajab 97 H atau Juli 711 M, ia mendapat perintah dari Gubernur Afrika Utara, Musa bin Nusair, untuk mengadakan penyerangan ke Semenanjung Andalusia (Semenanjung Iberia, yang sekarang meliputi negara Spanyol dan Portugis).
Bersama 7.000 pasukan yang dipimpinnya, ia menyeberangi Selat Gibraltar (berasal dari kata Jabal Thariq, yang berarti “Gunung Thariq”) menuju Andalusia. Setelah armada tempur lautnya mendarat di pantai karang, ia berdiri di atas bukit karang dan berpidato. Ia memerintahkan anak buahnya membakar kapal-kapal yang membawa seluruh awak pasukannya, kecuali kapal-kapal kecil yang diminta pulang untuk meminta bantuan kepada Khalifah.
Saat itu ia mengatakan, “Kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya dua pilihan, menaklukkan negeri ini dan menetap di sini serta mengembangkan Islam, atau kita semua binasa (syahid).”
Karuan saja pidato ini membakar semangat jihad pasukannya. Mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur pasukan Kerajaan Visigoth, Spanyol, di bawah pimpinan Raja Roderick.
Dengan pertolongan Allah SWT, 100.000 pasukan Raja Roderick tumbang di tangan pasukan muslim, yang hanya 7.000 orang. Raja Roderick pun menemui ajal di medan pertempuran itu.
Dalam kitab Tarikh al-Andalus disebutkan, sebelum meraih keberhasilan tersebuti, Thariq mendapat firasat bahwa ia bermimpi melihat Rasulullah SAW bersama keempat Khulafa’ Ar-Rasyidin berjalan di atas air hingga menjumpainya. Lalu Rasulullah SAW memberikan kabar gembira bahwa kelak ia akan berhasil menaklukkan Andalusia. Rasulullah SAW menyuruhnya untuk selalu bersama kaum muslimin dan menepati janji.
Setelah meraih kemenangan ini, Thariq menulis surat ke Musa, mempersembahkan kemenangan kaum muslimin tersebut. Dalam suratnya itu ia menulis: Hamba telah menjalankan perintah Tuan. Allah telah memudahkan kami memasuki negeri Andalusia.
Setahun kemudian, Musa bin Nusair bertolak membawa 10.000 pasukan menyusul Thariq. Sejak saat itu, satu demi satu kota-kota di Andalusia diduduki tentara Thariq dan Musa: Toledo, Elvira, Granada, Cordoba, dan Malaga. Lalu dilanjutkan Zaragoza, Aragon, Leon, Asturia, dan Galicia. Penyebaran Islam ke Eropa pun dimulai dari Andalusia.
Pasukan Musa dan pasukan Thariq bertemu di Toledo. Keduanya bergabung untuk menaklukkan Ecija. Setelah itu mereka bergerak menuju wilayah Pyrenies, Prancis. Hanya dalam waktu dua tahun, seluruh daratan Spanyol dikuasai. Beberapa tahun kemudian Portugis mereka taklukkan dan mereka ganti namanya menjadi “Al-Gharb” (Barat).
Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad berencana membawa pasukannya terus ke utara untuk menaklukkan seluruh Eropa. Sebab, waktu itu tidak ada kekuatan dari mana pun yang bisa menghalangi mereka. Namun niat itu tidak tereaslisasi, karena Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik memanggil mereka berdua pulang ke Damaskus.
Thariq pulang terlebih dahulu, sementara Musa bin Nusair menyusun pemerintahan baru di Spanyol.
Setelah bertemu Khalifah, Thariq bin Ziyad ditakdirkan Allah SWT tidak kembali ke Eropa. Ia sakit dan mengembuskan napas terakhirnya. Ia telah menorehkan namanya di lembar sejarah sebagai putra asli Afrika Utara muslim yang menaklukkan daratan Eropa.
Sumber: http://www.majalah-alkisah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=447%3A-islam-di-andalusia-menang-atau-syahid-&catid=38%3Atarikh&Itemid=1
Pada tahap awal semenjak menjadi wilayah kekuasaan islam, Spanyol diperintah oleh wali-wali yang diangkat oleh pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus. Pada periode ini kondisi sosial politik Spanyol masih diwarnai perseli¬sihan disebabkan karena kompleksitas etnis dan golongan. Selain itu juga timbul gangguan dari sisa-sisa musuh islam di Spanyol yang bertempat tinggal di wilayah-wilayah pedalaman. Periode ini berakhir dengan datangnya Abdur Rahman al-Dhahil ke Spanyol pada tahun 138 H/ 755 M.
A. PERIODE KEAMIRAN UMAYYAH
Pada periode ini Spanyol dipimpin seorang penguasa yang bergelar Amir (panglima atau gubernur) yang tidak terikat dengan pemerintahan pusat. Amir pertama adalah Abdur Rahman I. Setelah berhasil menyelamatkan diri dari kekejaman al-Saffah, Abdur Rahman menempuh pengembaraan ke Palestina, Mesir, dan Afrika Utara, hingga akhirnya ia tiba di Cheuta. Di wilayah ini ia mendapat bantuan bangsa Berber dalam menyusun kekuatan militer. Pada masa itu Spanyol sedang dilanda permusuhan antaretnis Mudariyah dan Himyariyah. Abdur Rahman dimintai bantuan olela pihak Himyariyah yang sedang merencanakan pemberontakan akibat perlakuan kejam gubernur Yusuf.
Urutan Nasab Amir Umayyah di Spanyol
Pada tahun 255 Abdur Rahman tiba di Spanyol. Abdur Rahman berhasil memenangkan peperangan di Masarrat sehingga ia menduduki tahta kekuasaan Spanyol sebagai bagian dari kekuasaan dinasti Umayyah di Damaskus. Semenjak menjabat sebagai penguasa Spanyol, Abdur Rahman menghadapi berbagai gerakan pemberontakan internal. Cangguan pihak luar yang terbesar adalah ser¬buan pasukan Papin, seorang raja Perancis dan putranya yang bernama Charlemagne. Namun pasukan pengganggu ini dapat dikalahkan oleh kekuatan Abdur Rahman. Belum selesai menangani aksi pemberontakan ia keburu meninggal dunia pada tahun 172 H/788 M., sebelum Amirat Umayyah di Spanyol ini berdiri tegak.
Hisyam I (172-180 H/788-796 M)
Abdur Rahman digantikan oleh putranya yang bernama Hisyam I (172-180 H/788-789 M). Ia merupakan penguasa yang lemah-lembut dan administratur yang liberal. Ia mestilah menghadapi pemberontakan yang dilancarkan oleh saudaranya sendiri di Toledo, yakni Abdullah dan Sulaiman. Pemberontakan ini dapat ditaklukkan oleh Hisyam. Selanjutnya Hisyam mengarahkan perhatiannya ke wilayah utara. Umat Kristen yang tidak hentinya melancarkan gangguan keamanan ditindasnya sekaligus berhasil mengalahkan kekuatan Perancis. Kota Norebonne ditaklukkannya, sementara suku-suku yang tinggal di Calicia mengajukan perundingan perdamaian.
Hisyam merupakan penguasa yang adil, dan bermurah hati khususnya terhadap rakyatnya yang lemah dan miskin. Ia senantiasa ingin mengetahui keluhan si miskin, dengan keluar malam masuk perkampungan di Kordoba. Ia mengunjungi mereka yang sakit, meringankan beban mereka dengan membagikan sejumlah uang. Sekalipun temperamennya lemah lembut, namun seringkali ia menunjukkan sikapnya yang tegas terhadap para perusuh dan pemberontak yang mengancam stabilitas negara. Ia membangun jembatanCordoba dan merampungkan pembangunan mesjid-gereja yang dimulai oleh ayahnya. Dalam bidang hukum, Hisyam menganut mazhab Maliki dan menjadikannya sebagai madzab resmi di Andalusia.
source:http://faisalman.wordpress.com/2008/08/05/menyusuri-jejak-islam-di-andalusia/
Hakam (180-207 H/796-822 M)
Sepeninggal Hisyam, Hakam menggantikan kedudukannya. Banyak gerakan pemberontakan yang harus dihadapinya. Di antaranya adalah yang dilancarkan Abdullah yang meminta bantuan kepada, Chrarlemagne, raja Frangka. Ia berhasil menguasai Toledo, saudaranya yang bernama Sulaiman menguasai Valencia. Pada saat ini Louis dan Charles berhasil menyusup ke wilayah muslim, sedang Alfonso, panglima suku Calicia, menyer¬bu kota Aragon.
Hakam membuktikan kemampuannya dalam tugas mengatasi musuh-musuh tersebut. Bangsa Frangka dan Calicia dikalahkannya. Ia selanjutnya menu¬ju Toledo untuk menghentikan pemberontakan Sulaiman dan Abdullah. Namun tatkala Hisyam lengah, datang serangan bangsa Franka yang berhasil merebut Barcelo¬na. Pada tahun 190 H/805 dan pada tahun 199 H/814 M Cordoba diguncang oleh gerakan pemberontakan, namun kota ini segera dapat diamankan setelah Hakam mengalahkan kekuatan pemberontak.
Hakam meninggal pada tahun 207H / 822 M, setelah berkuasa selama 26 tahun, suatu periode yang paling banyak diwarnai pertempuran. Ibn al-Athir, mencatatnya sebagai penguasa Andalusia pertama yang bijaksana sekaligus kesatria. Satu kekurangannya adalah tidak ber¬sikap ramahterhadap fuqaha. Ia tidak menghendaki campur tangan fuqaha’ dalam urusan negara. lnilah sebab timbulnya gerakan fuqaha’ yang berusaha mengguling¬kan kekuasaan Hakam. Mereka muncul sebagai oposisi Hakam dan berusaha menciptakan kegaduhan hingga melatari terjadinya gerakan pemberontakan di Cordoba.
Abdur Rahman II (207-238 H/522-852 M)
Abdur Rahman mewarisi kejayaan dan kemakmuran yang diciptakan oleh pendahulunya, Hakam. Kerusuhan yang terjadi pada saat ini antara lain ditimbulkan oleh umat Kristen didaerah pedalaman yang dikepalai pimpin¬an suku Leon, juga terdapat serbuan bangsa Normandia terhadap wilayah pantai Spanyol. Kedua kekuatan ini dapat dikalahkan. Pada masa pemerintahan Abdur Rahman II selama 30 tahun ini, perekonomian rakyat mengalami kemajuan dan kemakmuran. la sangat mencintai seni, kepustakaan, dan berusaha membangun Cordoba sebagai Bagdad II. Ia mendirikan sejumlah istana, taman, dan menghiasi ibukota dengan berbagai bangunan mesjid yang indah. Banyak ilmuan berkumpul di istananya, yang sebagian mereka berasal dari Bagdad.
Muhammad I (238-273 H/853-886 M)
Muhammad rnenggantikan kedudukan ayahnya, Abdur Rahman II. Pada masa ini masyarakat Kristen Toledo dengan bantuan pimpinan suku Leo bangkit menentang Muhammad. Pasukan Mghammad menumpas kekuatan pemberontak dalam pertempuran di Cuadelet. Di Cor¬doba timbul gerakan perusuh. Muhammad segera me¬nempuh langkah-langkah pengamanan ibukota ini de¬ngan menumpas semua kekuatan pemberontak. Kekacau¬an di pusat pemerintahan ini dimanfaatkan oleh bangsa Perancis dengan menciptakan gangguan di wilayah utara, dan oleh Normand ia yang melancarkan serbuan terhadap wilayah pantai Spanyol. Kedua kekuatan asing ini dapat dikalahkan oleh pasukan Muhammad I. Pada akhir masa pemerintahan, muncul sejumlah pemberontakan di ber¬bagai penjuru. Seorang muslim Spanyol yang bernama Musa mengklaim sebagai penguasa atas kota Aragon. Pemberontakan di wilayah barat dipimpin oleh lbn Marwan. Pemberontakan terbesarterjadi di wilayah perbukit¬an antara kota Ronda dan Malaga yang dipimpin oleh Umar lbn Hafsun. la berusaha mendirikan sebuah negeri yang merdeka, dengan dukungan tokoh-tokoh Kristen dan dukungan penguasa Franka. Muhammad mengirimkan pasukan yang dipimpin Munzir. Munzir yang bergerak ke utara berhasil menundukkan kota Siragosa dan selanjut¬nya menghancurkan kekuatan lbn Marwan. Di tengah pertempuran melawan kekuatan Umar Ibn Hafsun, terde¬ngar berita kematian Muhammad l. Maka Munzir segera mengakhiri pengepungannya dan kembali ke ibukota untuk menerima penyerahan tampuk pemerintahan. Muhammad I merupakan penguasa adil dan bijaksana. la berhasil mencapai reputasi yang gemilang selama 34 tahun masa pemerintahannya. la meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, dan menjalankan pemerintahan sesuai prinsip dasar yang berlaku. la adalah tokoh pendi¬dikan dan pecinta ilmu pengetahuan.
Munzir (273-275 H/886-888 M)
Munzir merupakan penguasa yang enerjik dan pemberani. Seandai ia berusia panjang, niscaya ia cukup mampu menegakkan kedamaian dan ketertiban negara. Munzir memimpin sendiri pasukan untuk menghadapi kekuatan Umar lbn Hafsun. la keburu meninggalsebelum berhasil mengamankan negara dari gangguan para pemberontak.
Abdullah (273-3o0 H/888-912 M)
Abdullah merupakan saudara Munzir. Menurut lbn al-Athir, “pada masa ini timbul gerakan pemberontakan dan kerusuhan di segenap penjuru wilayah Spanyol. Kondisi ini berlangsung sejak awal masa pemerintahan Abdullah hingga berlangsung sejak awal masa pemerintahan Abdul¬lah hingga berakhir”. la tidak hanya mendapat perlawan¬an dari masyarakat Spanyol pedalaman, tetapi kelompok Aistokratis Arab juga menentangnya. Pertengkaran yang sengit terjadi antarkalangan Arab, kalangan Saville, kalangan Elvire. Pertengkaran ini sangat mengancam ke¬kuasaan raja. Umar lbn Hafsun memanfaat kondisi per¬tengkaran ini dengan upaya memperluas wilayah ke¬kuasaannya hingga mendekati batas ibukota. Abdullah mengerahkan pasukannya untuk menumpas gerakan pemberontakan di bawah pimpinan Obaydullah. Pemberontakan yang terbesar selama ini, yakni pemberontakan Umar lbn Hafsun berhasil dikalahkan oleh pasukan Obaydullah, sehingga pemberontakan kecil lainnya segera tunduk kepadanya. Tahta kerajaan berhasil ditegakkannya.
.
B. PERIODE KEKHALIFAHAN UMAYYAH DISPANYOL
Abdur Rahman III (300-350 H/912-961 M)
Abdur Rahman menggantikan kedudukan ayahnya pada usia 21 tahun. Penobatannya disambut dan diterima oleh segenap kalangan. Pada tahun301H/913 M, Abdur Rahman mengumpulkan pasukan militer yang sangat besar. Pihak perusuh dan pihak musuh gentar dengan kekuatan militer Abdur Rahman III. Dengan demikian tanpa perlawanan ia menaklukkan kota-kota besar dibelahan utara Spanyol, kemudian Saville. Suku Berber dan umat Kristen Spanyol yang selama ini menjadi perintang, tunduk kepada Abdur Rahman III. Hanya masyarakat Toledo yang berusaha melawan sang sultan, namun segera dapat ditundukkan. Selanjutnya Abdur Rahman mengerahkan pasukannya ke belahan utara Spanyol untuk menundukkan umat Kristen wilayah ini yang senantiasa berusaha menghancurkan kekuatan muslim.
Dua tahun dari masa penobatan Abdur Rahman III, Ordano II, kepala suku Leon, datang menyerbu beberapa wilayah lslam. Pada saat itu Abdur Rahman sedang terlibat perselisihan denganKhalifah Fatimiyah, Mulzz, di Mesir. Ahmad lbn Abu Abda ditunjuk memimpin pasukan untuk menghadapi pasukan Ordano II. Setelah terdesak Ordano ll kemudian bersekutu dengan Sancho, kepala suku Navarre. Suku Leon dan suku Navarre dihancurkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Abdur Rahman sendiri, bersamaan dengan terbunuhnya Ordano ll dan Sancho. Penguasa muslim Spanyol selama ini berkedudukan sebagai Amir atau Sultan. Abdur Rahman merupakan orang pertama yang mengklaim kedudukannya sebagai khalifah dengan gelar an-Nasir lidinillah (penegak agama Allah), setelah ia berhasil dalam perjuangan menumpas pemberontakan Kristen suku Leon dan Navarre. Dengan demikian pada masa ini terdapat dua khalifah sunni di dunia islam: Khalifah Abbasiyah di Bagdad dan Khalifah Umayyah dispanyol, dan seorang khalifah syi’ah Fatimiyah Afrika Utara.
Pada masa ini kekuasaan dinasti Fatimiyah di Afrika Utara sedang melancarkan perluasan ke wilayah barat, bahkan dengan bekerja sama dengan Umar lbn Hafsun, dinasti Fatimiyah berusaha menaklukkan kekuatan Umaiyah di Spanyol. Untuk menahan kekuatan Fatimiyah, Abdur Rahman mendapat bantuan sebagian penduduk Afrika Barat, dan ia berhasil menaklukkan sebagian wilayah ini. Namun kemudian datang serangan yang hebat oleh suku-suku Kristen sehingga pasukan Abdur Rahman terdesak keluar dari Afrika.
Khalifah Abdur Rahman III tidak menyukai kelas bangsawan Arab yang tinggal di Spanyol, karenanya ia lebih suka merekrut tentara non-Arab. Hal ini menimbulkan gerakan bangsawan Arab menentang kebijakan sang khalifah. Dalam pertempuran al-Khandaq dan dalam pengepungan kota Zamora, militer Arab menderita kehancuran dan kekalahan.
Penilaian Terhadap Abdur Rahman
Abdur Rahman merupakan penguasa Umayyah terbesar di Spanyol. Seluruh gerakan pengacau dan konflik politik dapat di atasinya sehingga negara dapat diamankannya. Keberhasilan ini diikuti penaklukan kota Elvira, Jain, Seville, dan kekuatan Kristen juga dipaksa menyerah kepadanya. Setelah berhasil mengatasi problem politik dalam negeri, ia juga berhasil. menggagalkan cita-cita Fatimiyah untuk memperluas wilayah kekuasaan di negeri Spanyol. Pendek kata, Abdur Rahman telah menyelamatkan Spanyol dari kehancuran, baik dari ancaman pihak dalam, maupun dari serangan pihak luar.l Abdur Rahman ternyata tidak hanya mengamankan Spanyol dari kehancuran, namun sekaligus menciptakan kemakmuran dan kemajuan Spanyol. Kemajuan dalam bidang perekonomian Spanyol mendukungnya untuk melancarkan kegiatan pembangunan negeri ini. Jalan raya dan sarana pengadaan air minum dibangunnya di seluruh penjuru negeri. Pertanian, industri, perdagangan dan pendidikan mengalami kemajuan yang pesat pada masa ini.
Di bawah pemerintahan khalifah Abdur Rahman III, Spanyol mengalami kemajuan peradaban yang menakjubkan, khususnya dalani bidang seni arsitektur. Dilaporkan bahwa Cordoba pada saat itu memiliki 300 mesjid, 100 istana yang rnegah, l3.000 gedung, dan 300 tempat pemandian umum. Ia merupakan orang yang paling lembut dan dermawan yang pernah berkuasadi Spanyol. Kemasyhurannya sebagai penguasa dikenal sampai di negeri Konstantinopel, Jerman, Perancis dan Itali. Penguasa negeri-negeri ini mengirimkan duta-duta ke istana sang khalifah. Armada laut yang di bentuk berhasil menguasai jalur lautan tengah bersama.dengan armada Fatimiyah. Kebesarannya dapat disejajarkan dengan Raja Akbar dari India, Umar ibn Khattab, dan Harun al rasyid. Jadi, Abdur rahman III bukan hanya sebagai penguasa terbaik Spanyok, melainkan juga penguasa terbaik dunia.
Hakam II (350-366 H/961-976 M)
Hakam II menggantikan kedudukan ayahnya, Abdur Rahman. Pada masa ini pimpinan suku Navarre, yang semula telah mengakui otoritas pemerintahan islam semasa Abdur Rahman III, berusaha melepaskan diri dengan anggapan bahwa Hakam yang terkenal suka perdamaian dan terpelajar tersebut tidak akan menuntut ketentuan dalam perjanjian sebelumnya, dan seandainya dia memilih jalan perang niscaya kekuatan Hakam iidak sekuat kecakapan militer ayahnya. Tapi ternyata bahwa Hakam membuktikan dirinya tidak hanya sebagai orang terpelajar melainkan juga pemimpin militer yarig cakap. Sancho, pimpinan Kristen suku Leo, dan pimpinan Kristen lainnya ditundukkan ketika melancarkan pemberontakan.
Ia juga,mengerahkan pasukannya yang dipimpin Ghalib ke Atrika untuk menekan kekuatan Fatimiyah. Ghalib mencapai sukses menegakkan kekuasaan Umayyah Spanyol di Afrika Barat. Suku Berber di Maghrawa, Mikansa, dan Zenate mengakui kepemimpinan Hakam.
Setelah berhasil mengamankan situasi politik dalam negeri, Hakam selanjutnya menunjukkan jati dirinya dalam gerakan pendidikan. la mengungguli seluruh penguasa sebelumnya dalam kegiatan intelektual. Ia mengirimkan sejumlah utusan ke seluruh wilayah timur untuk membeli buku-buku dan manuskrip, atau harus menyalinnya jika sebuah buku tidak terbeli sekalipun dengan harga mahal untuk dibawa pulang ke Cordoba. Dalarn gerakan ini ia berhasil mengumpulkan tidak kurang dari 100.000 buku dalam perpustakaan negara di Cordoba. Katalog perpustakaan ini terdiri 44 jilid. Para ilmuan, filosof dan ulama dapat secara bebas memasukinya. Untuk meningkatkan kecerdasan rakyatnya, ia mendirikan sejumlah sekolahan di ibukota. Hasilnya, seluruh rakyat Spanyol mengenal baca tulis. Sementara itu umat Kristen Eropa, kecuali-para pendeta, tetap dalam kebodohan, masyarakat atasan sekalipun. Universitas Cordoba merupakan universitas termasyhur di dunia pada saat itu. Dengan meninggalnya Hakam pada tahun 366 H/976 M, masa kejayaan dinasti Umaiyah di Spanyol berakhir.
Hisyam II
Hakam mewariskan kedudukannya kepada Hisyam II, anaknya yang baru berusia sebelas tahun. Karena usianya yang terlalu belia, ibunya yang bernama Sulthana Subh dan seorang yang bernama Muhammad ibn Abi Amir mengambil alih kekuasaan pemerintahan. Muhammad ibn Abi Amir seorang yang sangat ambisius. Setelah berhasil merebut jabatan perdana menteri, ia menggelari namanya sebagai Hajib al-Manshur. Ia merekrut militer dari kalangan suku Berber menggantikan militer Arab. Dengan kekuatan militer Berber inilah berhasil menundukkan kekuatan Kristen di wilayah utara Spanyol, dan berhasil memperluas pengaruh Bani Umaiyah di barat laut Afrika. Ia akhirnya memegang seluruh cabang kekuasaan negara, sementara sang khalifah tidak lebih sebagai boneka mainannya. Surat resmi dan maklumat negari diterbitkan atas namanya.
Hajib al-Manshur meninggal tahun 393 H/1002 M di Madinaceli. Ia merupakan negarawan dan jenderal Arab yang terbesar di Spanyol. Ia merupakan seorang jenderal yang paling berjasa yang pernah hidup di Spanyol. Pada masa ini, rakyat lebih makmur daripada masa sebelumnya. Ia digantikan oleh anaknya yang bernama al-Muzaffar yang berhasil mempertahankan kondisi ini selama enam tahun.
Sepeninggal al-Muzaffar, Spanyol dilanda berbagai kerusuhan. Muzaffar mewariskan jabatan Hajib kepada saudaranya yang bernama Abdur Rahman yang mendapat julukan “Sanchol”. Ia lebih ambisius daripada pendahulunya, lantaran ia menginginkan jabatan sebagai khalifah Cordoba.
Ketika ia sedang melancarkan ekspedisi ke wilayah utara, timbul gerakan pemberontakan di Cardoba yang dipimpin oleh Muhammad. Sang pemberontak berhasil menghancur pertahanan khalifah Spanyol dan menurunkan Hisyam dari jabatan khalifah dan menduduki jabatan ini dengan gelar al-Mahdi. Sanchol ditangkap dan dipenjarakan. Tidak lama setelah berhasil merebut jabatan khalifah, Muhammad al-Mahdi meninggal.
Sulaiman
Muhammad al-Mahdi di gantikan tokoh Umayyah lainnya yang bernama Sulaiman. Semenjak masa ini proses kemunduran dan kejatuhan kekhalifahan Spanyol berlangsung secara cepat. Tidak beberapa lama Hisyam II merebut jabatan khalifah untuk kedua kalinya. Bersamaan dengan ini Kordoba, pusat kekhilafahan Spanyol, dilanda kekacauan politik. Akhirnya pada tahun 1013 M dewan menteri yang memerintah Cordoba menghapuskan jabatan khalifah.
Pada saat ini kekuatan muslim Spanyol terpecah dalam banyak negara kecil di bawah pimpinan r aja-raja atau muluk al Thawaif. Tercatat lebih tiga puluh negara kecil yang berpusat di Seville, Cordoba, Toledo dan lain-lain.
Kekuatan Kristen wilayah utara Spanyol bergerak untuk bangkit. Kekacauan pemerintahan pusat diilanfaatkan mereka sebaik-baiknya.Alfonso VI, penguasa Castille yang menjabat sejak tahun 486 H/1065 M., berhasil menyatukan tiga basis kekuatan Kristen: Castile, Leon, dan Navarre, menjadi sebuah kekuatan militer hebat untuk menyerbu Toledo.
.
C. MASA DINASTI-DINASTI KECIL
Sekalipun pada masa ini kekuaran muslim Spanyol terpecah menjadi sejumlah negara kecil, namun terdapat kekuatan yang dominan yakni dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada mulanya merupakan gerakan keagamaan di Afrika utara yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama (kiai/ulama) yang tinggal di Ribarh (sejenis surau) yang dipimpin oleh seorang guru yang bernama Abdullah ibn’yasin. Gerakan Ribath ini berubah menjadi gerakan militer yang melakukan gerakan ekspansi dibawah pimpinan ibn Tasyfin yang berpusat di kota Marrakusy.
Murabithun (1086-1143 M)
Untuk menghadapi situasi kritis dari serangan orang-orang Kristen, raja-raja kecil di Spanyol meminta bantuan Yusuf ibn Tasyfin. Pada tahun 1086 M, ia memasuki Spanyol untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil Spanyol di dekat Saville. Dalam peperangan di Zallaqah, kekuatan gabungan ini berhasil mengalahkan pasukan Alfonso. Kemenangan ini menjadikan Yusuf ibn Tasyfin sebagai raja di Spanyol. Ia digantikan oleh Abul Hasan yang merupakan pengganti Yusuf yang paling kuat. Sejumlah peperangan melawan kekuatan Kristen dapat dimenangkannya. Raja-raja pengganti Abul Hasan tidak sekuat pendahulunya, bersamaan dengan itu muncullah kekuatan baru, gerakan al-Muwahhidun, di Afrika Utara.
Muwahhidun (1146-1235 M)
Al-Muwahhidun didirikan oleh ibn Tumart, berasal dari Kawasan Sus di Afrika Utara. Ibn Tumart menamakan gerakannya dengan al-Muwahhidun karena gerakan ini bertujuan untuk menegakkan tauhid (keesaan Allah), menolak segala bentuk pemahaman anthropormorfism (tajsim) yang dianut oleh Murabitun. Karena itu, semangat perjuangan lbn Tumart adalah menghancurkan kekuatan Murabithun. Ditangan Abdul Mun’im, seorang panglima militer ibn Tumart dan sekaligus pengganti kedudukannya, Muwahhidun berhasil memasuki Spaqyol. Antara tahun 1114-1154 M., kota-kota muslim di Spanyol jatuh ke tangannya: Cordoba, Almeria, dan Cranada. Abdul Mun’im digantikan oleh saudaranya yang bernama Abu Yakub, dan kemudian tampillah Yakub sebagai penerusnya. Dalam beberapa generasi ini Muwahhidun mengalami masa-masa kemajuan.
Setelah kematian Yakub, Muwahhidun memasuki masa kemundurannya. Bersamaan dengan kemunduran Muwahhidun ini, pasukan salib yang telah dikalahkan oleh Salahuddin di Palestina kembali ke Eropa dan mulai menggalang kekuatan baru di bawah pimpinan Alfanso IX. Kekuatan Kristen ini mengulangi serangannya ke Andalusia. Kali ini mereka berhasil mengalahkan kekuatan muslim Muwahhidun. Setelah beberapa kali mengalami kekalahan dan terus terdesak, akhirnya penguasa Muwahhidun meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara (Marokko).
Sepeninggal Muwahhidun ini, di Spanyol timbul kembali sejumlah kerajaan kecil. Di antara mereka yang terbesar adalah kekuatan Muhammad ibn Yusuf ibn Nasr yang lebih terkenal sebagai “ibn Ahmar”. Ia berhasil menegakkan sebuah kerajaannya selama lebih kurang dua abad.
Kerajaan Granada
Kerajaan Granada merupakan pertahanan terakhir muslim Spanyol. Setelah terjadi penaklukan kota Valencia, Cordoba, Saville dan Murcea oleh penguasa Castille yang bernama Ferdinand III, dan oleh penguasa Aragon yang bernama Jayme I, pemerintahan muslim di Spanyol tinggal bertahan di propinsi Granada. Bahkan penguasa Granada juga dipaksa mernbayar sejumlah upeii kepada pemerintahan Castille. Kerajaan Granada ini didirikan oleh ibn al-Ahmar. Sekalipun merupakan penguasa yang kuat, namun ia tidak mampu menghadapi kekuatan pasukan Kristen yang hampir menguasai seluruh wiiayah Spanyol. Ibn Ahmar berusaha menahan tekanan dari pemerintahan Kristen, hingga akhirnya berhasil menjadikan Granada sebagai satu-satunya wilayah pemerintahan muslim sampai dengan tahun 1429 M, di tengah-tengah pemerintahan raja-raja Kristen.
Semenjak abad kelima belas, Cranada mengalami kehancuran. Persekutuan antara wilayah Aragon dan Castille melalui perkawinan Ferdinand dengan Isabella melahirkan kekuatan besar untuk merebut kekuasaan terakhir ummat muslim di Spanyol. Namun beberapa kali serangan mereka belum berhasil menembus pertahanan ummat lslam.
Abul Hasan yang pada saat itu menjabat penguasa Granada mampu mematahkan serangan mereka”. Bahkan ia menolak pembayaran upeti terhadap pemerintahan Castille. Ketika utusan Ferdinand datang ke Granada untuk menagih upeti, Abul Hasan menghardiknya seraya berkata: “katakan kepada penguasamu bahwa’raja-raja Granada yang bersedia membayar upeti telah meninggal. Sekarang. tidak ada lagi upeti, melainkan pedang. Bahkan Abul Hasan mengadakan penyerangan dan menduduki kota Zahra. Untuk membalas dendam, Ferdinand melancarkan serangan mendadak terhadap al-Hamra dan berhasil merebutnya. Bqnyak wanita dan anak kecil yang berlindung di mesjid dibantai oleh pasukan Ferdinand. Jatuhnya al-Hambra ini merupakan pertanda kejatuhan pemerintahan Granada.
Situasi pemerintahan pusat di Granada semakin kritis dengan terjadi beberapa kali perselisihan dan perebutan kekuasaan antara Abul Hasan dengan anaknya yang bernama Abu Abdullah. Serangan pasukan Kristen yang berusaha memanfaatkan situasi kritis ini dapat dipatahkan oleh Zaghal, saudara Abul Hasan. Zaghal menggantikan Abul Hasan sebagai penguasa Granada.
Zaghal berusaha mengajak Abu Abdullah menggabungkan kekuatan dalam menghadapi musuh Kristen. Abu Abdullah menolak ajakan tersebut. Ketika terjadi permusuhan antara Zaghal dan Abu Abdullah, pasukan Kristen melancarkan serbuan dan berhasil menduduki Alora, Kasr-Bonela, Ronda, Malaga, Loxa dan beberapa kota penting lainnya. Tinggal sebagian kecil yang tetap menjadi kekuasaan Zaghal. Ferdinand kembali melancarkan serangan untuk menghabisi sisa-sisa kekuatan Zaghal, hingga Zaghal menyerah, akhirnya melarikan diri ke Afrika.
Satu-satu kekuatan muslim berada di kota Cranada dipimpin oleh Abu Abdullah. Dalam serangan besar-besar, pasukan Ferdinand berhasil menghancurkan pasukan Cranada yang dipimpin oleh Abu Abdullah bersama panglimanya, Musa. Sang raja dipaksa menyampaikan sumpa setia kepada Ferdinand, dan bersedia melepaskan harta kekayaan ummat muslim, dengan syarat bahwa ummat muslim diberi hak hidup dan kebebasan beragama. Peralihan kekuasaan ummat lslam oleh Ferdinandterjadi pada tanggal 3 Januari 1492 M.
Tidak lama kemudian Ferdinand mengeluarkan sebuah dekrit dimana ummat lslam harus memilih dua alternatif, bersedia dibaptis sebagai pemeluk Kristen, atau keluar dari Spanyol. Sebagian muslim Spanyol bersedia memeluk agama Kristen daripada harus meninggalkan tanah airnya, sedang sebagian lainnya tetap bertahan dalam keyakinan islam sekalipun harus menderita siksaan dan pengusiran dari negeri Spanyol. Kebanyakan mereka berpindah ke Maroko, Mesir, dan Turki. Pasukan Kristen tidak hanya berbuat kejam terhadap ummat tslam Spanyol, mereka juga membakar sejumlah besar manuskrip Arab.
Ummat muslim yang dipaksa berpindah ke agama Kristen sesungguhnya hanya dalam lahirnya saja, selang hati dan jiwa mereka tidak rnampu dibaptiskan. Mereka dipaksa melakukan peribadatan dan tata cara beragama Kristen. Dengan cara demikian anak dan generasi mereka menjadi Kristen.
Jatuhnya kota-kota muslim ke tangan Kristen Spanyol berarti lenyapnya pusat peradaban, singgasana ilmu pengetahuan dan singgasana para ilmuan muslim di Spanyol. Umat Kristen Spanyol muncul ibarat rembulan dengan cahaya yang maya. Maka semenjak saat itu kemuraman umat islam menyelimuti Spanyol.
Sumber: di sadur dari,
Prof. K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Srigunting Raja Grafindo Persada, 1996.
Peristiwa akhir kerajaan Granada dan penyesalan, saya kutib dari: http://kisah-islam.co.cc/index.php?option=com_content&task=view&id=34&Itemid=28 (Banyak sumber lain serupa).
Alkhiyanah al-Kubra (Pengkhianatan besar), begitulah DR. Thariq al-Suwaidan menyebut tingkah polah Abu Abdillah al-Shaghir (di bagian atas tertulis sebagai Abu Abdullah, orgawam) di kota terakhir yang dimiliki muslimin, Granada. Dari sejak dia meminta bantuan tentara Kristen untuk membantai sesama muslim hingga penyerahan Granada dengan pemandangan penuh hina.
Sejarah menceritakan dengan sangat detail, suasana hari penyerahan Granada kepada kerajaan Kristen. Raja dan Ratu Kerajaan Kristen itu datang dengan semua tampilan kebesarannya. Bersama para pengawal dan pendeta. Mereka masuk ke istana al-Hamra’ yang menjadi simbol kebesaran Granada, siap menerima kota indah itu.
Dan inilah sambutan Abu Abdillah al-Shaghir. Hadiah-hadiah istimewa dia persembahkan kepada sang raja tersebut dan dia pun berlutut di hadapan Raja Kristen itu sambil mencium tangan sang raja.
Inilah pemandangan yang akan terulang di zaman manapun. Jika petinggi muslim sudah memberikan sambutan-sambutan istimewa di antaranya dengan pemberian hadiah dan memberikan penghormatan takzim di antaranya dengan ciuman bagi para musuh, maka itu artinya akhir dari semua perjuangan negeri dan kelompok muslimin itu. Walau masyarakat muslimin tidak tahu. Tetapi para pengkhianat itu sangat tahu langkah demi langkah penggadaian umat dan negeri. Dengan diciumnya tangan raja Kristen, maka Granada resmi berada di bawah Kerajaan Kristen Castille.
Tidak ada yang tersisa. Hanya harapan Abu Abdillah al-Shaghir yang masih tersisa. Tetapi ternyata semua harapan agar eksistensi muslim bisa dijaga, hanya mimpi di siang bolong. Keinginan menjaga yang sudah digapai, hanya keinginan tanpa bukti. Yang jelas dan terbukti adalah penyerahan Granada dan ciuman takzim untuk sang raja dengan menekuk lutut di hadapannya. Yang jelas dan terbukti adalah pengkhianatan umat.
Jangankan bisa memerintah Granada yang tunduk di bawah Kerajaan Castille –seperti yang permintaannya sebagai ganti penyerahan Granada- Abu Abdillah bahkan diminta oleh sang Raja untuk meninggalkan Granada. Hanya setahun setelah dia mencium tangan sang raja sambil menekuk lututnya. Dia harus meninggalkan Granada bahkan Andalus. Untuk selama-lamanya.
Abu Abdillah pun bergerak pergi bersama siapa saja yang ikut bersamanya. Hingga ketika sampai di sebuah bukit. Dia naik ke bukit itu, sambil memandangi Granada untuk terakhir kalinya dalam hidupnya. Kota besar, kuat nan indah yang telah dia jual dengan impian yang tak pernah terbukti. Matanya terus memandang.
Entah apa yang sedang berkecamuk di hati dan pikiran Abu Abdillah al-Shaghir. Tapi jelas sangat banyak. Setidaknya, dari berbagai kenangan kebesaran. Hingga dia terusir dengan sangat hina, karena ulahnya sendiri. Air mata mulai meleleh di pipinya. Semakin deras. Dan semakin deras. Tangis pun meledak. Tak tertahankan. Banjir air mata hingga membasahi jenggotnya.
Abu Abdillah al-Shaghir terus menangis. Hingga dipecah oleh suara tegar sang bunda, Aisyah al-Hurrah. Kalimat yang jelas mengandung gumpalan-gumpalan murka seorang ibu terhadap anaknya yang tidak amanah kepada umat. Inilah kalimat sang bunda yang diabadikan oleh sejarah:
Menangis…menangis…menangislah…
Ya menangislah seperti wanita! Kerajaan yang tidak bisa kamu jaga seperti laki-laki
Menangislah seperti wanita, kerajaan yang lenyap
Kamu tidak sanggup menjaganya seperti laki-laki
Sangat kuat kemarahan sang bunda. Melihat anaknya hanya bisa menangis saat semuanya telah terlambat. Saat umat Islam telah kehilangan semuanya. Semuanya karena ulah anaknya. Yang hanya bisa menangis seperti wanita. Penyesalan yang selalu datang terlambat dan tiada guna. Bukit saksi bisu penyesalan seorang pengkhianat umat itu masih dikunjungi orang hingga hari ini. Masih bisa dilihat, agar menjadi pelajaran bagi setiap pengkhianat umat. Apapun rencana matang pengkhianatannya, pasti akan melelehkan air mata penyesalan yang sering datang terlambat saat semuanya telah musnah.
Oleh masyarakat Spanyol bukit tersebut di sebut sebagai el último suspiro de Moro yang dalam Bahasa Arab diterjemahkan زفرة العربي الأخيرة (tangisan terakhir (raja) Arab). Ya, di situlah tangisan untuk terakhir kalinya. Terakhir. Setidaknya hingga saat tulisan ini digoreskan. Sudah 517 tahun, umat Islam belum kunjung bisa mengembalikan Andalus yang hilang.
Abu Abdillah terus berjalan menyeberang menuju Malila. Hingga akhirnya ia menetap di Fez, Maroko sampai meninggal.
Di Fez, sejarah kembali mengajari kita pelajaran besar nan penting. Sejarah kali ini memberikan sorotan tajamnya, agar setiap kita berhati-hati. Jangan menjadi pengkhianat umat. Seberapa pun hebatnya kita merencanakan dan menutupinya. Pengkhianatan akan berujung pada kehinaan sejak di dunia.
Fez menjadi kota yang bersaksi kepada kita tentang akhir dari kehidupan seorang pengkhianat umat. Tidak sebentar dia hidup tersiksa dalam kehinaan. 27 tahun hidup miskin terlunta-lunta. Bertahan hidup dengan harta-harta belas kasihan infak dan wakaf. Hartanya ludes, bahkan dia tak meninggalkan warisan apapun.
Inilah akhir dari kisah pengkhianat peradaban. Hidup penuh kehinaan, saat dulunya mulia. Hidup penuh kesengsaraan saat dulunya makmur. Hidup penuh siksaan, saat dulunya bahagia. Inilah pelajaran bagi para pengkhianat umat di sepanjang zaman. Terlalu pahit pengkhianatan itu untuk ditanggung umat. Kedzaliman menindih umat lebih dari yang dibayangkan bahkan oleh si pengkhianat itu. Dosa yang layak dipercepat adzabnya di bumi ini.
Dan inilah kisah tangisan pengkhianat umat. Yang hanya bisa menangisi tetapi semuanya telah terlambat. Tangisan yang tidak pernah mengembalikan kejayaan. Tangisan yang merupakan awal dari kehancuran.
Benarlah Nabiyullah Yusuf alaihis salam saat menegaskan, “… dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Yusuf: 52) Semua ini di dunia. Bagaimana di akhirat kelak?! Semoga Allah mengampuni kita semua. (Eramuslim.com)
Sebuah kisah mengharukan tentang nasib umat islam di Spanyol setelah jatuh ke tangan kerajaan kristen. Kisah ini sudah masyhur, dan saya pernah membacanya di sebuah buku.
Suatu sore, ditahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ serasa hening mencengkam. Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.
Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika ‘algojo penjara’ itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu ‘jenggel’ milik tuan Roberto yang fanatik Kristen itu akan mendarat di wajah mereka.
Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. “Hai…hentikan suara jelekmu! Hentikan…! ” Teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakan mata. Namun, apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu’nya. Roberto bertambah berang.
‘Algojo penjara’ itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan congkak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.
Sungguh ajaib… Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata, “Rabbi, waana’abduka. ..” Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai ustadz…Insya Allah tempatmu di Syurga.”
Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, ‘algojo penjara’ itu bertambah memuncak amarahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai. “Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapak kami, Tuhan Yesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan ‘suara-suara’ yang seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk agama kami.”
Mendengar “khutbah” itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan tajam dan dingin. Ia lalu berucap, “Sungguh…aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”
Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat diwajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah ‘buku kecil’. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun,tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. “Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto. “Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!” ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto, mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu.
Sepatu lars berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan ‘algojo penjara’itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.
Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung. “Ah…sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini.” suara hati Roberto bertanya-tanya.
Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol. Akhirnya, Roberto duduk disamping sang ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.
Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini.
************ ********* ********* ********* ********* ******
Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab)digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, ditengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.
Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan air matanya menatap sang ibu yang terkulai lemah ditiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi yang sudah tak bernyawa, sembari menggayuti ibunya. Sang bocah berkata dengan suara parau, “Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam, bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa….? Ummi,cepat pulang ke rumah ummi…” Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah.
Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya ” Abi…Abi… Abi…” Namun, ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
“Hai…siapa kamu?!” teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah. “Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi…” jawab sang bocah memohon belas kasih. “Hah…siapa namamu bocah, coba ulangi!” bentak salah seorang dari mereka. “Saya Ahmad Izzah…” sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi. Tiba-tiba plak! sebuah tamparan mendarat dipipi sang bocah. “Hai bocah…! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang ‘Adolf Roberto’ ..Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki2 itu. Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.
************ ********* ********* ********* ********* *******
Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah ‘tanda hitam’ ia berteriak histeris, “Abi…Abi.. .Abi…” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.
Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam menggamannya adalah Kitab Suci milik bapaknya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai’tanda hitam’ pada bahagian pusar. Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini.Lidahnya yang sudah berpuluh -puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, “Abi.. aku masih ingat alif, ba, ta, tsa…” Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.
Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.
“Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi,tunjukkan aku pada jalan itu…” Terdengar suara Roberto memelas. Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap.” Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Disana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,” Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah “Asyahadu anla Illaaha ilallah,waasyhadu anna Muhammad Rasullullah. .” Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.
Kini Ahmad Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, ‘Islam’, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya… ” Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.
Benarlah firman Allah…”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus,tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS 30:30)
orgawam.wordpress.com